Kamis, 27 April 2017

Menelusuri Jejak Gulat Professional di Perfilman dan Pertelevisian Indonesia (Bagian 2)





Era 80-an dan 90-an

Di era ini ada film yang berjudul “Ferocious Female Freedom Fighters,” tahun 1982. Film yang dibintangi Eva Arnaz ini menarik untuk dibahas berkaitan dengan gulat pro. Berbeda dengan film “Samson Betawi,” film ini malah secara gamblang mengangkat gulat sebagai ceritanya, bahkan lebih gamblang lagi hanya menampilkan gulat wanita. Selain itu film ini juga lebih secara spesifik menggambarkan pelatihan gulat yang harus dilalui seseorang untuk mempersiapkan dirinya sebagi pegulat.

Hal lain yang menjadi perhatian saya, yakni pertandingan beregu (tag team), lengkap beserta cara pemain lain meng-interrupt pertandingan saat wasit tidak melihatnya, mirip dengan gulat pro di era modern. Saya katakan demikian karena sejauh ini saya menyaksikan pertandingan gulat tag team tahun 80-an, saya belum pernah menyaksikan cara interrupt seperti itu. Tapi mungkin saja referensi yang saya miliki masih sedikit.

Adegan gulat dalam film "Ferocious Female Freedom Fighters." Sumber: Youtube

 Ada satu hal lagi yang menjadi perhatian saya dari dua film tersebut. Adalah tujuan pertandingan dan crowd. Di film “Samson Betawi,” pertandingan gulat digambarkan lebih conding sebagai hiburan, dan terlihat sekali antusiasme penonton yang bersorak sepanjang pertandingan sampai melemparkan sepatu karena tidak puas dengan jalannya pertandingan. Sedangkan di film “Ferocious Female Freedom Fighters,” gulat digambarkan sebagai dunia underground, dimana digunakan sebagai ajang perjudian.

Film selanjutnya adalah film bergenre komedi, yang dibintangi trio komedi legendaris Indonesia, Dono-Kasino-Indro, Warkop DKI dengan lakon “Bagi-Bagi Dong,” yang diproduksi tahun 1993. Namun dalam film ini tidak ada adegan gulat, melainkan terdapat satu scene yang dalam scene tersebut terpampang sebuah poster yang merupakan gambar salah satu nama besar di dunia pro wrestling, James Hellwig, atau yang lebih terkenal dengan nama The Ultimate Warrior. Mungkin hanya masalah sepele, hanya sebuah poster yang tertempel di dinding kamar. Namun dalam kaitannya artikel ini poster tersebut bukan sembarang poster. Ada hal spesifik yang dimilikinya Yang tergambar dalam poster tersebut adalah seorang pegulat yang popular pada masanya. Lebih dari itu poster tersebut secara tidak langsung merujuk pada perusahaan dimana dia bergulat.

 
Salah satu scene dalam film "Bagi-Bagi Dong" menampilkan poster The Ultimate Warrior. Sumber: Youtube

Mengingat-ingat hal ini menjadikan sebuah tanda tanya muncul dalam diri saya. Dari mana mereka mendapat poster itu? Lebih jauh lagi Saya malah dibuat bertanya-tanya lebih dalam. Dari mana sang sutradara mendapatkan ide tentang gulat ini? Pertanyaan saya ini berdasarkan sebuah teori yang mengatakan bahwa film adalah representasi realitas.

Dalam film terkandung teks dan konteks. Film sebagai teks merujuk pada seluruh aspek yang dapat ditangkap dalam film, bisa itu gambar, suara, pencahayaan, adegan, dialog, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, teks film adalah cara film berbicara kepada penontonnya. Sedangkan film sebagai konteks artinya film merupakan hasil interaksi sineas dengan lingkungannya.  Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Irawanto (1999: 13), “Film merupakan produk budaya, artinya film merupakan sebuah karya seni yang memiliki kontribusi terhadap pembentukan identitas, anggapan atau persepsi yang diciptakannya .film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, yang kemudian memproyeksikannya di atas layar.” 

Film melalui rangkaian sistem audio visualnya melakukan representasi realitas. Di dalam film terkandung suatu gambaran-gambaran realitas yang telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga realitas yang ditampilkan dalam film seakan-akan merupakan keadaan yang sesungguhnya terjadi dalam dunia nyata. Hal ini disebut dengan representasi, seperti yang dijelaskan oleh Sardar dan Loon (2008: 73): “Melalui kata, suara, dan gambar, berbagai media berhasil menciptakan kemiripan dengan dunia nyata. Media merepresentasikan dunia kepada audiens. Representasi realitas ini mirip dengan cara kita menginterpretasikan dan memaknai dunia melalui panca indera. Dengan mengkonstruksi realitas, media telah mengkonstruksi makna dunia.”

Graeme Turner (dalam Irawanto, 1999: 15) menyebut makna film sebagai representasi realitas berbeda dengan film sebagai refleksi realitas. Sebagai refleksi realitas, film sekedar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubahnya. Sedangkan sebagai representasi realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi kebudayaannya.

Dari penjelasan panjang lebar diatas, kita mengetahui bahwa film tidak muncul begitu saja. Seorang sutradara tidak mungkin secara seenaknya membuat film tanpa alasan yang jelas. Selalu ada hal yang mempengaruhi seorang sineas yang kemudian menjadi sebuah ide. Hal ini seperti kondisi sosial, politik, budaya suatu bangsa, nilai-nilai sejarah, keadaan ekonomi, dan lain sebagainya. Jadi jika merujuk pada teori diatas dibenak saya muncul pertanyaan  dari mana mereka mendapat reverensi mengenai budaya impor ini? Apakah di tahun 70-80-an gulat pro sudah masuk dan populer Indonesia?  Atau bahkan apakah dahulu gulat pro memang benar-benar ada dan pernah dilakoni di Indonesia?

Gulat sebenarnya memang ada dalam budaya Indonesia. Misalnya gulat lumpur mepantingan di Bali dan gulat benjang di Ujung Berung, Bandung Timur, Jawa Barat. Bedanya dengan gulat hiburan modern (walaupun gulat tradisional ini memang memiliki unsur hiburan terutama bagi penonton, khsusnya turis), baik mepantingan maupun benjang memiliki fungi lainnya, seperti bela diri, permainan, seni pertunjukan (musik dan tari), maupun pemujaan, serta dilakukan di alam terbuka, bukan diatas ring dengan tiga buah tali yang mengelilinginya. 

Baca bagian 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar