Era 80-an dan 90-an
Di
era ini ada film yang berjudul “Ferocious Female Freedom Fighters,” tahun 1982.
Film yang dibintangi Eva Arnaz ini menarik untuk dibahas berkaitan dengan gulat
pro. Berbeda dengan film “Samson Betawi,” film ini malah secara gamblang mengangkat
gulat sebagai ceritanya, bahkan lebih gamblang lagi hanya menampilkan gulat
wanita. Selain itu film ini juga lebih secara spesifik menggambarkan pelatihan
gulat yang harus dilalui seseorang untuk mempersiapkan dirinya sebagi pegulat.
Hal
lain yang menjadi perhatian saya, yakni pertandingan beregu (tag team), lengkap
beserta cara pemain lain meng-interrupt pertandingan saat wasit tidak
melihatnya, mirip dengan gulat pro di era modern. Saya katakan demikian karena
sejauh ini saya menyaksikan pertandingan gulat tag team tahun 80-an, saya belum
pernah menyaksikan cara interrupt seperti itu. Tapi mungkin saja referensi yang
saya miliki masih sedikit.
Adegan gulat dalam film "Ferocious Female Freedom Fighters." Sumber: Youtube |
Ada satu hal lagi yang menjadi perhatian saya dari dua film tersebut. Adalah tujuan pertandingan dan crowd. Di film “Samson Betawi,” pertandingan gulat digambarkan lebih conding sebagai hiburan, dan terlihat sekali antusiasme penonton yang bersorak sepanjang pertandingan sampai melemparkan sepatu karena tidak puas dengan jalannya pertandingan. Sedangkan di film “Ferocious Female Freedom Fighters,” gulat digambarkan sebagai dunia underground, dimana digunakan sebagai ajang perjudian.
Film
selanjutnya adalah film bergenre komedi, yang dibintangi trio komedi legendaris
Indonesia, Dono-Kasino-Indro, Warkop DKI dengan lakon “Bagi-Bagi Dong,” yang
diproduksi tahun 1993. Namun dalam film ini tidak ada adegan gulat, melainkan
terdapat satu scene yang dalam scene tersebut terpampang sebuah poster yang
merupakan gambar salah satu nama besar di dunia pro wrestling, James Hellwig, atau yang lebih terkenal dengan nama The Ultimate
Warrior. Mungkin hanya masalah sepele, hanya sebuah poster yang tertempel di
dinding kamar. Namun dalam kaitannya artikel ini poster tersebut bukan
sembarang poster. Ada hal spesifik yang dimilikinya Yang tergambar dalam poster
tersebut adalah seorang pegulat yang popular pada masanya. Lebih dari itu poster
tersebut secara tidak langsung merujuk pada perusahaan dimana dia bergulat.
Salah satu scene dalam film "Bagi-Bagi Dong" menampilkan poster The Ultimate Warrior. Sumber: Youtube |
Mengingat-ingat
hal ini menjadikan sebuah tanda tanya muncul dalam diri saya. Dari mana mereka
mendapat poster itu? Lebih jauh lagi Saya malah dibuat bertanya-tanya lebih dalam.
Dari mana sang sutradara mendapatkan ide tentang gulat ini? Pertanyaan saya ini
berdasarkan sebuah teori yang mengatakan bahwa film adalah representasi realitas.
Dalam
film terkandung teks dan konteks. Film sebagai teks merujuk pada seluruh aspek yang
dapat ditangkap dalam film, bisa itu gambar, suara, pencahayaan, adegan,
dialog, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, teks film adalah cara film
berbicara kepada penontonnya. Sedangkan film sebagai konteks artinya film
merupakan hasil interaksi sineas dengan lingkungannya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Irawanto
(1999: 13), “Film merupakan produk budaya, artinya film merupakan sebuah karya
seni yang memiliki kontribusi terhadap pembentukan identitas, anggapan atau
persepsi yang diciptakannya .film adalah potret dari masyarakat dimana film itu
dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,
yang kemudian memproyeksikannya di atas layar.”
Film
melalui rangkaian sistem audio visualnya melakukan representasi realitas. Di
dalam film terkandung suatu gambaran-gambaran realitas yang telah dikonstruksi
sedemikian rupa sehingga realitas yang ditampilkan dalam film seakan-akan
merupakan keadaan yang sesungguhnya terjadi dalam dunia nyata. Hal ini disebut
dengan representasi, seperti yang dijelaskan oleh Sardar dan Loon (2008: 73): “Melalui
kata, suara, dan gambar, berbagai media berhasil menciptakan kemiripan dengan
dunia nyata. Media merepresentasikan dunia kepada audiens. Representasi
realitas ini mirip dengan cara kita menginterpretasikan dan memaknai dunia
melalui panca indera. Dengan mengkonstruksi realitas, media telah
mengkonstruksi makna dunia.”
Graeme
Turner (dalam Irawanto, 1999: 15) menyebut makna film sebagai representasi
realitas berbeda dengan film sebagai refleksi realitas. Sebagai refleksi
realitas, film sekedar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubahnya.
Sedangkan sebagai representasi realitas, film membentuk dan “menghadirkan
kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi
kebudayaannya.
Dari
penjelasan panjang lebar diatas, kita mengetahui bahwa film tidak muncul begitu
saja. Seorang sutradara tidak mungkin secara seenaknya membuat film tanpa
alasan yang jelas. Selalu ada hal yang mempengaruhi seorang sineas yang
kemudian menjadi sebuah ide. Hal ini seperti kondisi sosial, politik, budaya
suatu bangsa, nilai-nilai sejarah, keadaan ekonomi, dan lain sebagainya. Jadi
jika merujuk pada teori diatas dibenak saya muncul pertanyaan dari mana mereka mendapat reverensi mengenai
budaya impor ini? Apakah di tahun 70-80-an gulat pro sudah masuk dan populer
Indonesia? Atau bahkan apakah dahulu
gulat pro memang benar-benar ada dan pernah dilakoni di Indonesia?
Gulat
sebenarnya memang ada dalam budaya Indonesia. Misalnya gulat lumpur mepantingan
di Bali dan gulat benjang di Ujung Berung, Bandung Timur, Jawa Barat. Bedanya
dengan gulat hiburan modern (walaupun gulat tradisional ini memang memiliki
unsur hiburan terutama bagi penonton, khsusnya turis), baik mepantingan maupun
benjang memiliki fungi lainnya, seperti bela diri, permainan, seni pertunjukan
(musik dan tari), maupun pemujaan, serta dilakukan di alam terbuka, bukan
diatas ring dengan tiga buah tali yang mengelilinginya.
Baca bagian 3
Baca bagian 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar